Kasus Korupsi 271 T Berapa Tahun Penjara

Kasus Korupsi 271 T Berapa Tahun Penjara

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, kini muncul kasus baru. Kasus baru tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 300 triliun.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo menyebut Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan mengejar potensi penerimaan negara yang hilang itu. Prabowo, kata dia, sudah memegang daftar 300 pengusaha 'nakal' ini. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pengusaha itu diduga bergerak di sektor sawit.

Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menyebut dugaan hilangnya potensi penerimaan negara yang disebut Hashim berasal dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam audit itu, BPKP menemukan 4 sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang.

Jodi menyebut potensi penerimaan itu berasal di antaranya dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan. Selain itu, potensi penerimaan juga berasal dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dari sektor ini.

Mendengar hal itu, Kejaksaan Agung turut buka suara. Kejagung menyebut akan mendukung pemerintah melalui penegakan hukum.

"Upaya kami membantu pemerintah melalui penegakan hukum sesuai kewenangan kami," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar dihubungi, Kamis lalu dikutip Sabtu (12/10/2024).

Harli menyebut Kejaksaan Agung saat ini tengah melakukan penyidikan terkait kasus korupsi tata kelola sawit 2005-2024. Dalam perkara tersebut, Kejagung telah melakukan penggeledahan di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 3 Oktober 2024.

Harli menyebut dalam perkara itu, Kejagung menduga telah terjadi penguasaan kawasan hutan secara melawan hukum untuk perkebunan kelapa sawit. Penyerobotan itu, kata dia, diduga menyebabkan kerugian keuangan dan ekonomi negara.

Meski demikian, Harli belum membeberkan potensi kerugian negara dalam perkara ini. Kejagung juga belum menetapkan tersangka. "Belum ada, penyidikannya masih baru dilakukan," kata dia.

Tindakan penyerobotan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit diduga menjadi salah satu sumber kebocoran penerimaan negara Rp 300 triliun.

Sementara itu, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh membenarkan bahwa temuan yang sempat dipaparkan oleh Hashim itu merupakan hasil audit dari lembaganya.

"Benar," kata Yusuf Ateh dihubungi Kamis, (10/10/2024).

Ateh melanjutkan bahwa audit yang dilakukan BPKP masih berlanjut. Dia enggan membeberkan temuan sementara lembaganya itu.

"Tapi masih terus berproses, auditnya belum selesai," kata dia.

Saksikan video di bawah ini:

Uskup Agung Jakarta Soroti Keserakahan di Indonesia hingga Kasus Korupsi Rp 270 Triliun

Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menyoroti keserakahan yang ada di Indonesia saat ini.

Dikatakannya bahwa saat ini Indonesia masih ada dalam 'perbudakan' diperbudak dalam keserakahan.

"Hari ini kita lihat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan bukan menyangkut saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Tetapi orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi, mengerikan," ujar Kardinal Suharyo pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024).

Uskup Agung lalu menyinggung soal pencucian uang saat ini ramai di media, angka mencapai Rp 270 triliun.

"Kemudian korupsi yang saat ini tengah ditangani dan tindak pidana pencucian uang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun. Dan masih banyak yang lain," lanjutnya.

Akhirnya, kata Uskup Agung hulu dan hilir semua peristiwa ini adalah keserakahan. Dan Keserakahan itu bisa menyusup masuk di dalam sistem.

"Jadi bukan hanya keserakahan pribadi. Kalau keserakahan masuk ke dalam sistem ekonomi, politik budaya, sosial. Itu daya rusaknya sangat besar," sambungnya.

Itulah, kata Uskup Agung 'perbudakan' yang ia cermati di media massa saat ini.'

Ia menyebut ada inisial baru di mana sosok tersebut memiliki jabatan penting sebagai abdi negara. Awalnya, Iskandar menjelaskan peranan Helena Lim dan Harvey Moeis dalam kasus mega korupsi Rp271 triliun itu.

"Kami sebut Helena Lim itu hanya keset kaki. Di atas keset kaki itu sepatunya Harvey Moeis. Kemudian, Robert Bonosusatya alias RBS bertindak sebagai ‘kaos kaki’ yang berada di atas Harvey Moeis, suami Sandra Dewi. Nah yang jadi kaos kaki itu udah pasti RBS,” ujar Iskandar saat diundang dalam tayangan podcast bersama Uya Kuya.

Lebih jauh, Iskandar menyebut bahwa ada mantan pensiunan bintang empat berinisial B yang menjadi backingan dalam kasus ini.

“Ada oknum yang berkuasa, yang sampai punya bintang 4 di pundak, mantan pensiunan, gitu intinya. Berseragam karena dalam warna-warni kejahatan mereka tak akan berhitung kalau tidak pada aparat,” bebernya.“Habis itu ya biasanya mereka bergantung pada kelompok kuat yang solid atau terorganisir. Kita sebut saja oknum itu pernah berbintang empat inisial B itu aja dulu,” lanjutnya.Iskandar menyebut bahwa sosok inisial B tersebut sudah lama dicurigai mengorganisir proyek tambang timah ilegal sejak lama.

Ini orang yang kita duga mengorganisir sampai terjadi pembelian smelter, smelter ini kan dibeli dari orang-orang yang bener-bener kaya, tetapi pembelinya tidak benar-benar kaya, kan unik kasus ini,” pungkasnya.

Adapun saat ini kasus mega korupsi masih dalam tahap penyidikan.

Sandra Dewi kembali diperiksa oleh Kejagung sementara sang suami Harvey Moeis masih harus ditahan untuk mengulik dan membongkar tuntas kasus korupsi timah ini.

Kasus dugaan korupsi kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dan pihak swasta secara ilegal dengan angka kerugian lingkungan mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun menyita perhatian publik. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin bicara soal perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana, menjelaskan bahwa selama kepemimpinan ST Burhanduddin selalu menitikberatkan pada penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi yang berkualitas, yakni mengakibatkan kerugian besar, berdampak negatif bagi masyarakat, dan pelakunya adalah orang-orang berpengaruh serta status ketokohan, sehingga menjadi tidak tersentuh dengan hukum.

"Sepanjang kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, beberapa perkara mega korupsi telah berhasil ditangani seperti Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru adalah PT Timah yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah. Adapun status perkara-perkara tersebut di antaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan," kata Ketut dalam keterangannya, Selasa (9/4/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penangan kasus korupsi yang extraordinary crime membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya. Atas dasar hal tersebut, kejaksaan menjadi penegak hukum yang selangkah lebih maju dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Maksudnya adalah dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara. Hal tersebut diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah.

"Sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase 'dapat' pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss). Hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan, namun Jaksa Agung menegaskan bahwa perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda," ujarnya.

Dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime, Kejagung menilai menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi atau badan hukum dan konglomerasi atau gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan, sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan.

"Dengan demikian, perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya," ucapnya.

Di sisi lain, Kejagung menilai dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal. Selain itu, kerugian juga harus memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.

"Selanjutnya, kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan. Hal itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala. Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya," jelas Ketut.

"Maka dari itu, dalam setiap kesempatan, Jaksa Agung menyampaikan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian negara dan perekonomian negara seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal pencegahannya, maka perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum," sambungnya.

Oleh karenanya, dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, menurut Kejagung tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary.

"Lebih lanjut, Jaksa Agung menekankan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan negara secara masif. Sebab, sudah banyak negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara," ucap Ketut.

"Meski demikian, kita tidak boleh kalah dengan koruptor. Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama (public enemy)," imbuhnya.

Simak juga Video 'Jeratan Kasus Suami Sandra Dewi, Tersangka Korupsi dan Pencucian Uang':

[Gambas:Video 20detik]

Video:Utusan Prabowo di COP29 Ungkap Komitmen RI Atasi Perubahan Iklim

Lagi-lagi jajaran kejaksaan mencuri perhatian dengan pengusutan perkara korupsi. Masih hangat dalam ingatan soal Jiwasraya dan ASABRI, kini perkara pertambangan menjadi sorotan.

Kasusnya sendiri bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 atau bolehlah disingkat kasus korupsi timah. Sampai detik ini sudah ada 16 orang tersangka yang dijerat kejaksaan yang mana nama tersangka terakhir menjadi buah bibir yaitu Harvey Moeis yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.

Kasus ini tidak serta merta muncul. Beda dari kasus-kasus yang biasa diusut KPK melalui operasi tangkap tangan atau OTT, perkara yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini biasa disebut menggunakan metode case building atau mengembangkan kasus. Biasanya dalam perkara yang diusut melalui case building, pasal yang dikenakan memiliki ancaman hukuman yang lebih ngeri dibanding perkara-perkara yang sifatnya suap-menyuap. Ancaman hukumannya seumur hidup penjara atau bahkan mati dengan syarat kondisi tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) atau bisa disebut juru bicara dari Kejagung yaitu Ketut Sumedana pertama kali bicara mengenai kasus ini pada Selasa, 17 Oktober 2023. Saat itu Ketut mengatakan penyidik Jampidsus sudah melakukan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang berada di Bangka.

"Tindakan penyitaan dan penggeledahan tersebut terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 s/d tahun 2022," ujar Ketut kala itu.

Secara sederhana Ketut mengatakan kasus ini mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itu dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Siapa Saja Tersangka?

Dalam perkara ini Kejagung sudah menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan. Sedangkan 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara. Berikut rinciannya:

Tersangka Perintangan Penyidikan1. Toni Tamsil alias Akhi (TT)

Tersangka Pokok Perkara2. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung3. MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT SIP4. Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP5. Hasan Tjhie (HT) selaku Direktur Utama CV VIP6. Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP7. Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP8. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS9. Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN10. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT11. Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT12. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016-201113. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-201814. Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah15. Helena Lim (HLN) selaku manager PT QSE16. Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT

Provinsi Bangka Belitung sendiri dikenal sebagai penghasil timah. Dalam praktiknya penambangan timah ilegal di wilayah itu marak. Menurut Kuntadi selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Harvey mewakili PT RBT menghubungi sejumlah smelter atau bisnis-bisnis peleburan timah yang terlibat dalam kasus ini.

Harvey juga pernah menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani ketika aktif sebagai Direktur Utama PT Timah. Maksud Harvey berkomunikasi dengan Mochtar adalah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah itu yaitu dengan modus sewa-menyewa alat peleburan timah.

"Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud," kata Kuntadi.

Lalu apa kaitan dengan Helena Lim?

Sebelum menjerat Harvey, kejaksaan sudah lebih dulu menetapkan Helena Lim sebagai tersangka. Dari rumahnya disita duit miliaran jumlahnya serta brankas berisi perhiasan. Rupanya antara Harvey dan Helena ini terdapat benang merah. Kejagung menduga Harvey meminta pihak smelter menyisihkan keuntungan yang dihasilkan dari praktik terselubung itu di mana kemudian dikelola seolah-olah menjadi dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi Helena.

"(Keuntungan yang disisihkan) diserahkan kepada yang bersangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yang dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN," ujar Kuntadi.

Kasus ini masih berproses tetapi Kejagung sempat memunculkan dugaan kerugian lingkungan yang timbul. Angkanya fantastis: Rp 271 triliun. Dari mana hitungannya?

Kejagung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Babel imbas dari dugaan korupsi yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 itu berisi tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Berikut bunyi pasal yang mengatur mengenai penghitungan kerugian lingkungan sebagaimana dilihat detikcom:

(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.

(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:a. pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; ataub. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.

(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:a. bukti telah melakukan penelitian; dan/ataub. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.

(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.

(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :

a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/ataue. status lahan yang rusak.

(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:a. inflasi; dan/ataub. kebijakan pemerintah.

Menimbang hal-hal di atas, menurut Bambang, angka kerugian lingkungan dalam kasus itu mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun. Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut:

Kerugian Kawasan Hutan:- Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 Triliun- Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 Triliun- Pemulihannya itu Rp 5,257 TriliunTotal untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223 Triliun atau lengkapnya Rp 223.366.246.027.050.

Kerugian Non Kawasan Hutan:- Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun- Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 Triliun- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 TriliunTotal untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 Triliun

"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.

Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.

"Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," ujar dia.

Angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014. Terkait penghitungan kerugian negara yang masih dihitung itu sebelumnya juga sudah disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Kuntadi.

"Kerugian ini masih akan kita tambah dengan kerugian keuangan negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya masih kita tunggu," kata Kuntadi.

"Hasilnya seperti apa, yang jelas kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya," imbuhnya.

Simak juga 'Ini Peran Suami Sandra Dewi dalam Kasus Korupsi Komoditas Timah':

[Gambas:Video 20detik]

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Empat terdakwa, Laksamana Muda (Purnawirawan) Agus Purwoto, Kusuma Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas Anthony van der Heyden dalam sidang tuntutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023).

JAKARTA, KOMPAS – Empat terdakwa dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pada 2015, masing-masing dituntut hukuman pidana penjara 18 tahun 6 bulan. Keempat terdakwa itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.

Keempat terdakwa itu adalah Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto selaku Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan RI periode Desember 2013 hingga Agustus 2016, Kusuma Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma, dan Surya Cipta Witoelar selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma. Satu terdakwa lagi adalah berkewargaaan negara Amerika Serikat, yakni Thomas van der Heyden selaku Senior Advisor PT Dini Nusa Kusuma.

Keempat terdakwa hadir pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri.

Tuntutan terhadap keempat terdakwa itu dibacakan secara bergantian oleh jaksa koneksitas yang terdiri dari unsur Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat dan Oditur dari pihak militer yakni Jasri Umar, Nurul Anwar, Dhikma Heradika, dan kawan-kawan. Ini lantaran terdakwa perkara ini ada yang berasal dari pihak militer.

Majelis hakim berbincang dengan jaksa penuntut umum sebelum sidang dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Saat menyampaikan tuntutannya, jaksa koneksitas, Jasri Umar menyebut, Agus Purwoto bersama dengan Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 453 miliar dari proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.

Baca juga: Warga Negara AS Didakwa Rugikan Indonesia Rp 453 Miliar

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Laksda TNI Purn Agus Purwoto berupa pidana penjara selama 18 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata jaksa.

Selain penjara, Agus juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Selain itu, jaksa koneksitas juga menuntut Agus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 135 miliar yang apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara 9 tahun 3 bulan. "Jika tidak dibayar paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan inkrah maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut," tutur jaksa.

Kemudian, jaksa menuntut ketiga terdakwa lainnya yakni, Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden, masing-masing dengan pidana penjara 18 tahun 6 bulan penjara. Masing-masing dari mereka juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Jaksa penuntut umum mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023). Majelis hakim menunda sidang pembacaan surat dakwaan terhadap Thomas Anthony Van Der Heyden terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.

Tak miliki kewenangan

Dalam pertimbangannya, jaksa koneksitas mengungkapkan, Agus diminta oleh Van der Heyden, Arifin, dan Surya untuk menandatangani kontrak sewa Satelit Floater, yakni Satelit Artemis. Kontrak sewa itu antara Kementerian Pertahanan dan Avanti Communication Limited. Padahal, penyewaan satelit itu tidak diperlukan.

Apalagi, lanjut jaksa, Agus tidak memiliki kewenangan menandatangani kontrak karena bukan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan satelit tersebut.

Baca juga: Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123

Selain itu, ditemukan pula ada beberapa unsur yang tidak terpenuhi dalam kontrak tersebut. Hal itu di antaranya, belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan, tidak ada rencana umum pengadaan barang/jasa, dan tanpa kerangka acuan kerja (KAK) atau term of reference (TOR).

Ditemukan pula belum ada harga perkiraan sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia barang atau jasa, dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing satelit di Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur.

Sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut, perbuatan keempat terdakwa, menurut jaksa koneksitas, telah merugikan negara dalam jumlah yang sama. Kerugian negara itu tertuang dalam laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang penghitungan keuangan negara atas perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat di Kementerian Pertahanan tahun 2012-2021.

Laporan itu bernomor PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 pada tanggal 12 Agustus 2022.

Suasana seusai sidang tuntutan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan Rabu, (12/7/2023).

Jaksa menyatakan para terdakwa telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.

Seusai mendengarkan tuntutan jaksa koneksitas, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan. Pera terdakwa bersama penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan pada Rabu, (12/7/2023) depan.

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama sepuluh tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduduki pucuk kekuasaan, persoalan korupsi terus menjadi sorotan.

Laporan Transparency International Indonesia (TII) menyebut, skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di angka 34 dari 100 pada 2014 silam atau awal Jokowi menjabat.

Meski sempat naik hingga angka 38, skor itu kembali turun ke angka 34 tepat pada tahun terakhir Jokowi menjabat.

Meski demikian, selama satu dasawarsa Jokowi berkuasa tidak sedikit kasus-kasus megakorupsi yang ditangani aparat penegak hukum.

Berdasarkan catatan Kompas.com, ada sejumlah kasus dengan nilai kerugian mencapai triliunan rupiah yang terbongkat selama masa kepemimpinan Jokowi, berikut daftarnya:

Kasus e-KTP atau KTP elektronik merupakan salah satu perkara korupsi paling besar yang pernah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga menang di pengadilan.

Begitu rumitnya kasus ini, KPK membutuhkan waktu empat tahun untuk mengusut skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dan menjerat para pejabat negara, termasuk Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto.

Kasus ini terungkap dari kicauan eks Bendahara Umum partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Skandal korupsi e KTP yang dilakukan pada 2011-2012 pun terungkap.

Baca juga: Kilas Balik Kasus E-KTP Setya Novanto, Kembali Disorot Usai Pernyataan Eks Ketua KPK

Nilai proyek pengadaan e KTP disebut mencapai Rp 5,9 triliun namun digelembungkan. Penyidikan berlangsung sekitar tahun 2016 hingga 2017. Namun, saat ini masih terdapat tersangka yang berstatus buron.

“Jadi gini, proyek nilainya RP 5,9 triliun, saya (Setya) Novanto, semua, merekayasa proyek ini, mark up Rp 2,5 triliun” kata Nazaruddin pada 23 September 2013.

Sejumlah pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini adalah Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sugiharto.

Kemudian, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, pengusaha Andi agustinus alias Andi Narogong, Setya Novanto, dan lainnya.

Sugiharto dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 400 juta, dan membayar uang pengganti 50.000 dollar AS.

Irman dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti 500.000 dollar AS. Kemudian, Andi Narogong dihukum 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti 2,5 juta dollar AS dan Rp 1,1 miliar.

Sementara, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti 7,5 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar.

Kemudian, pihak swasta seperti mantan Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sugiharjo dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Baca juga: Kisah Setya Novanto Minta Perlindungan Jokowi Saat Terjerat Kasus E-KTP...

Anggota DPR Markus Nari dihukum 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan mengembalikan uang Rp 5,6 miliar.

Dalam persidangan Setya Novanto disebutkan, total anggaran yang dibagi-bagi untuk anggota DPR dan pejabat Kemendagri mencapai Rp 4,9 triliun.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kasus korupsi yang dimulai pada 1998 ketika  Indonesia mengalami krisi ekonomi dan banyak bank dalam negeri kesulitan likuiditas.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus korupsi Tata Niaga Komoditas Timah.

Tak tanggung-tanggung negara dirugikan hingga Rp 271 triliun.

Kasus korupsi ini melibatkan banyak kalangan dari penyelenggara negara, swasta, suami artis dan crazy rich PIK.

Total 16 orang jadi tersangka, termasuk suami artis Sandra Dewi Harvey Moeis.

Kasus ini pun tuai sorotan dari Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo

Pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024), Kardinal Suharyo menyinggung soal keserakahan hingga kasus korupsi yang merugikan negara Rp 271 triliun.